Nusantara Satu-Direktur Eksekutif Walhi Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), M. Hairul Sobri, mengatakan, maraknya aktivitas industri yang berbasiskan lahan dan SDA merupakan bagian dari pembangunan yang salama ini turut bererat menjadi penyebab bancana ekologis di Sumsel.
“Walhi Sumsel mencatat selama tahun 2018 telah terjadi bencana sebanyak 176 kali yang tersebar di 15 kabupaten dan kota di Sumsel. Bencana tersebut yakni 57 kebakaran hutan, banjir 44 kali, longsor 7 kali, kekeringan 5 kali dan pencemaran sungai 63 kali,”katanya, dalam acara publikasi tinjauan lingkungan hidup di Hotel Maxone, Selasa (15/1)
Menurut Hairuk, wilayah Sumsel jauh dari bencana alam. Namun terjadi bencana ekologi. Itu karena sistem tata kelolah yang diketahui saat ini setiap hujan sedikit, Palembang banjir. Palembang paling banyak bencana ekologis.
“Kita melihat belum ada langkah dari dari Pemkot untuk mengatasi bencana banjir. Pasalnya dari Rumah Terbuka Hijau ada yang digunakan untuk kepentingan bisnis. Ada beberapa mall, pembangunan yang tidak memiliki amdal. Seharusnya Pemkot melalui RPJMD ini harus jadi perhatian serius. Sehingga Palembang bebas banjir,”ungkapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, manusia tidak bisa melawan alam. Harus benar benar dikaji, jangan hanya kepentingan bisnis. Perlu ada RTH. Untuk di daerah, ada alih fungsi lahan. Karena pengawasan lingkungan hidup masih lemah. Izin baru masih dikeluarkan pemda.
“Membanjir izin-izin. Ini merusak daerah itu sendiri. Dampak dampak ini mastarakat kecil terutama petani. Soal energi, sumsel cukup banyak ingin membangun PLTU. Yang 98 persen milik swasta, dan 2 persen milik PLN. Batubara bahan PLTU. Kalau PLTU terus dibangun, pengurangan emisi tidak akan terlaksana. Sumsel komitmen menekan 17 persen seluruh emisi nasional. Kami tidak melihat hal itu,”ujarnya. (M.Akip)